Mengapa indonesia tidak menggunakan aksara Brahmi sebagai aksara nasional?



Aksara Brahmi mulanya digunakan di India sekitar tahun 200-an SM. Aksara tersebut kemudian dibawa oleh orang-orang India yang merantau ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sehingga digunakan pula oleh penduduk di sana. Di Indonesia, ada 5 aksara yang merupakan turunan dari aksara Brahimi, yaitu aksara Sunda, Lontara, Bali, Jawa, dan Surat Batak.
Jika Indonesia mengganti alfabet Latin dengan aksara Brahimi, memang akan muncul kebanggaan tersendiri. Surat-surat kabar akan dengan bangga mewartakan bahwa Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Identitas nasional akan menguat, baik di dalam maupun di luar negeri. Terus terang saja, bangsa mana yang tidak memimpikan hal demikian? Namun, Indonesia adalah negara yang dihuni oleh lebih dari 250 juta orang dengan berbagai suku dan bahasa. Keputusan untuk mengganti aksara adalah keputusan yang harus diperhitungkan dengan sangat matang.


Jika pemerintah mengganti alfabet Latin dengan, katakanlah, aksara Jawa, maka akan ada kecemburuan dari suku-suku lain. Di tambah lagi, mayoritas rakyat Indonesia masih terlalu mudah terhasut isu SARA. Dalam kondisi seperti sekarang saja, segelintir orang dari suku tertentu cemburu dengan suku Jawa. Saya tidak berani membayangkan apa jadinya jika salah satu aksara Brahmi di Indonesia terpilih.

Kalaupun pemerintah ingin mengganti aksara, prosesnya pasti akan memakan banyak sumber daya, termasuk uang. Dalam tautan ini, pak Hengki Dermawan menyebutkan bagaimana rumitnya mengganti logo “kuda laut” Pertamina menjadi yang seperti sekarang. Bayangkan betapa rumit prosesnya jika negara ingin mengganti aksara. Kekacauan akan terjadi.

Dengan demikian, keputusan mengganti aksara di Indonesia memiliki lebih banyak dampak buruk daripada dampak baik. Di satu sisi, memakai aksara “sendiri” memang membanggakan, tetapi apa artinya kebanggaan jika pihak yang seharusnya merasa bangga justru berpecah belah dan mengalami kesulitan?

No comments: