Mengapa pemerintah tidak boleh mengintervensi asosiasi sepak bola di suatu negara?

Asosiasi sepak bola di setiap negara (disingkat asosiasi) berada di bawah FIFA sebagai badan pengendali internasional sepak bola. Artinya, asosiasi harus patuh terhadap hukum yang berlaku di internal FIFA. FIFA menyebutkan bahwa asosiasi harus beroperasi secara independen, tidak boleh ada campur tangan dari pihak luar, termasuk pemerintah di negara tempat asosiasi itu berada.[1]
Mana landasan aturan FIFA dari larangan campur tangan pemerintah?
Pertama, pada Statuta Standar FIFA.[2] Statuta Standar FIFA adalah draf dasar yang kemudian diadopsi oleh asosiasi menjadi statuta asosiasi dengan di bawah arahan FIFA langsung.[3] Berdasarkan Statuta FIFA edisi Agustus 2018 Pasal 14 Ayat 1,[4] salah satu kewajiban asosiasi di bawah FIFA adalah:
to manage their affairs independently and ensure that their own affairs are not influenced by any third parties in accordance with art. 19 of these Statutes;
Statuta asosiasi juga, dalam Pasal 15, harus bersifat:
to be independent and avoid any form of political interference;
Pasal 19 Ayat 1–2 menerangkan:
(1) Each member association shall manage its affairs independently and without undue influence from third parties.
(2) A member association’s bodies shall be either elected or appointed in that association. A member association’s statutes shall provide for a democratic procedure that guarantees the complete independence of the election or appointment.
Kode Standar Pemilihan FIFA[5] yang mengatur pemilihan kepengurusan internal FIFA dan badan-badan sepak bola di bawahnya menerangkan pada Pasal 2 Ayat 2:
Government interference of any kind in the electoral process or composition of the elective body (general assembly or congress) of the association is not permitted. Consequently, government rules on elections shall not apply to the elected internal bodies of the association and the electoral rules of the association shall not require the approval of any government body ….
Perlu dipahami bahwa FIFA tidak menyuruh asosiasi untuk melawan atau memberontak pemerintah. Asosiasi justru harus membangun kooperasi dengan pemerintah mengingat pemerintah punya peran penting pula dalam perkembangan pesepakbolaan di suatu negara. Yang dilarang adalah pemerintah mengambil kendali langsung atas internal asosiasi. Salah satu kasus yang paling sering terjadi adalah pemerintah mengganti pemegang jabatan tertentu dalam internal asosiasi, membuat kompetisi lain di luar asosiasi, dan pengaturan skor.[6] PSSI pernah mengalami kekacauan seperti ini sehingga harus diskors dari kompetisi internasional selama setahun.[7]
Sepak bola sendiri memiliki sejarah yang kurang bagus jika dikaitkan dengan politik. Salah satu yang paling dikenal adalah Perang Sepak Bola pada 1969. Konflik di antara El Savador dan Honduras ini sebenarnya berawal dari konflik politik antar kedua negara, tetapi karena bersinggungan dengan laga Kualifikasi Piala Dunia 1970 antara dua negara itu, konflik merambat hingga ke kerusuhan suporter kedua tim. Pada leg kedua yang berlangsung di El Savador, hotel tempat menginap pemain Honduras divandal, bendera Honduras dibakar, lagu kebangsaan Honduras dilecehkan, bahkan pemain Honduras diantar ke stadion menggunakan tank militer El Savador. Selepas pertandingan yang dimenangkan El Savador, perang sebenarnya dimulai. Perang berlangsung selama 100 jam dan memakan korban jiwa sebanyak 6000 orang.[8] [9]
Satu peristiwa mencekam lainnya terjadi saat laga Inggris melawan Jerman yang dihelat di Berlin pada 14 Mei 1938, atau kurang dari satu setengah tahun sebelum Jerman memulai Perang Dunia Kedua. Di sana turut hadir petinggi Nazi seperti Hermann Goering, Rudolf Hess, dan Joseph Goebbels. Ketika lagu kebangsaan Jerman dikumandangkan sebelum pertandingan dimulai, semua pemain Inggris yang ada di lapangan mengangkat tangan, meniru hormat Heil Hitler ala Nazi. Dikabarkan bahwa mereka mendapat instruksi langsung dari Departemen Luar Negeri Inggris. Awalnya mereka menolak, tetapi kemudian duta besar Inggris untuk Jerman, Sir Neville Henderson, campur tangan dan menekankan instruksi itu demi kepentingan hubungan politik kedua negara. Empat bulan kemudian, Inggris meneken pakta non-agresi dengan Jerman. Setahun setelah itu, pakta itu gagal dan Jerman secara resmi memulai Perang Dunia Kedua.[10] [11] [12]
Di abad ke-21 ini, persinggungan antara politik dan sepak bola masih ada. Pada Euro 2008, Rusia dan Georgia berada di grup yang sama, tetapi mereka menolak bertanding. Alasannya karena pada waktu itu Georgia tengah berperang melawan separatis yang disokong oleh militer Rusia. Kemudian, pada pengundian kualifikasi Euro 2016, komite eksekutif UEFA mengakui bahwa Spanyol dan Gibraltar tidak dapat dipertemukan dalam satu grup karena alasan politik.[13]
FIFA ingin meminimalisasi peran pemerintah dalam persinggungan sepak bola dengan politik mengingat pemerintah adalah institusi politik. Belum lagi berbicara soal sepak bola pada tataran klub. Pemain, pelatih, staf, dan pemilik klub berasal dari berbagai negara, misalnya tim-tim liga Inggris. Dikhawatirkan, dengan campur tangan langsung pemerintah terhadap asosiasi sepak bola negaranya, tim sepak bola dijadikan alat politik yang berpotensi membawa konflik ke lapangan hijau. Kenyamanan pemain asing, terutama yang berasal dari negara berkonflik, tentu akan terganggu. Pada akhirnya, hal tersebut akan mencederai sportivitas, pluralisme, dan kesetaraan yang selama ini digaungkan oleh FIFA; dan bukan hanya di sepak bola, tetapi juga di semua cabang olahraga pada umumnya.[14]
Sepak bola adalah hiburan bagi orang-orang, bagi saya, setelah seharian penuh berkutat dengan tuntutan hidup. Jangan racuni hiburan ini dengan kerumitan politik. Biarlah politik bermain di panggungnya sendiri.

No comments: